Gambaran Status Endemisitas Filariasis dan Faktor yang Terkait dengan Transmisi Sesaat Pasca Survei Transmission Assessment Survey (TAS-) 1 di Kabupaten Pidie, Aceh

Overview of Filariasis Endemicity Status and Related Factors to Instantaneous Transmissions After Transmission Assessment Survey 1 (TAS-1) in Pidie District, Aceh

  • Nur Ramadhan Balai Litbang Kesehatan Aceh, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
  • Yulidar Yulidar Balai Litbang Kesehatan Aceh, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
  • Abidah Nur Balai Litbang Kesehatan Aceh, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
  • Zain Hadifah Balai Litbang Kesehatan Aceh, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
  • Yasir Yasir Balai Litbang Kesehatan Aceh, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Keywords: Filariasis, endemis, mikrofilaria rate, survei darah jari

Abstract

Abstract

Filariasis is still a global public health problem both in the world and in Indonesia. Aceh is include in one of the provinces with the most clinical cases in Indonesia. The aimed of this study was to determine the description of endemicity status and Related Factors to Instantaneous Transmissions period after Transmission Assessment Survey (TAS) 1 in Pidie district. This research is part of the filariasis elimination evaluation study in Indonesia (Multicenter Filariasis Study) Litbangkes Office Center, Ministry of Health in 2017. The research design was cross sectional study. The study was conducted from February to November 2017. The selected research sites were Buloh and Kambuk Payapi Village in Pidie district. Data was collected by interviewin respondent to obtained information about people's knowledge, attitudes and behavior related to filariasis. In addition, finger blood tests were also conducted on respondents who had been interviewed. The number of respondents by finger blood was 627 and 714 were interviewed. The risk of filariasis transmission still occurred with the finding of 10 positive cases of microfilaria as many as 10 people in Kambuk Payapi village  with B.malayi species. The average filarial density was 86.84 / μl blood.  Respondent’s knowledge about filariasis is still low, community attitudes towads the prevention and treatment of filariasis was positive. Only a portion of respondents were involved in mass treatment. Selective treatment and strengthening synergy across sectors and programs must be increased so that elimination of  filariasis can be achieved. In addition, it is necessary to increase public knowledge through various health promotion media to improve community behaviour to achieve  elimination of filariasis.

Abstrak

Filariasis masih menjadi masalah kesehatan baik di dunia maupun di Indonesia. Aceh termasuk dalam salah satu provinsi dengan kasus klinis kronis terbanyak di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran status endemisitas filariasis dan faktor yang berpengaruh dengan transmisi setelah Transmission Assessment Survey (TAS) 1 di Kabupaten Pidie. Penelitian ini merupakan bagian dari studi evaluasi eliminasi filariasis di Indonesia (studi Multicenter Filariasis) Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan tahun 2017. Desain penelitian adalah cross sectional study. Penelitian dilakukan dari Februari-November 2017. Tempat penelitian adalah di desa Buloh dan desa Kambuk Payapi di Kabupaten Pidie. Pengumpulan data dilakukan wawancara responden untuk mendapatkan informasi tentang pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat terkait filariasis. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan darah jari malam hari pada responden yang sudah diwawancarai.  Jumlah responden yang diperiksa darah jari 627 responden dan yang diwawancarai 714.  Resiko penularan filariasis masih terjadi dengan masih ditemukannya kasus positif mikrofilaria sebanyak 10 orang di desa Kambuk Payapi dengan spesies B.malayi. Rata-rata kepadatan filaria adalah 86,84/µl darah. Pengetahuan responden tentang penyebab filariasis masih rendah, sikap masyarakat terhadap upaya pencegahan dan pengobatan filariasis sudah positif. Namun demikian hanya sebagian responden yang ikut terlibat dalam pengobatan masal. Pengobatan selektif dan memperkuat sinergi lintas sektos dan lintas program harus ditingkatkan agar eliminasi filariasis dapat dicapai. Selain itu diperlukan peningkatan pengetahuan masyarakat melalui berbagai media promosi kesehatan untuk meningkatkan prilaku masyarakat untuk mencapai eliminasi filariasis.

 

References

World Health Global. Global Programme to Eliminate Lymphatic Filariasis: Progress Report. Geneva: World Health Organization; 2014.

World Health Organization. Global Programme to Eliminate Monitoring and of Mass Drug Administration. Geneva: World Health Organization; 2011.

Pusdatin Kemenkes RI. Infodatin : Situasi filariasis di Indonesia tahun 2015. Jakarta: Pusdatin Kemenkes RI; 2016:1-7.

Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie. Profil Kesehatan Kabupaten Pidie Tahun 2014. Sigli: Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie; 2015.

Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie . Profil Kesehatan Kabupaten Pidie. Pidie: Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie; 2017.

Anorital, Hananto M, Rachmawati F, et al. Laporan Penelitian Studi Evaluasi Eliminasi Filariasis di Indonesia Tahun 2017 (Studi Multisenter Filariasis). Jakarta; Badan Litbangkes; 2017.

Dirjen PP & PL. Pedoman Program Eliminasi Filariasis Di Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2009.

Santoso, Taviv Y, Mayasari R. Pengaruh Promosi Kesehatan terhadap Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Masyarakat.

Ambarita L, Taviv Y, Sitorus H, Pahlepi R, Kasnodihardjo. Perilaku Masyarakat terkait Penyakit Kaki Gajah dan Program Pengobatan Massal di Kecamatan Pemayung Kabupaten Batanghari, Jambi. Media Litbangkes. 2014;24(4):191-198.

Yulidar, Dewi RM, Anorital. Penetapan Status Endemisitas Filariasis Berdasarkan Pemeriksaan Mikroskopis dan Rapid Diagnostic Test Semasa Pelaksanaan Program Eliminasi di Kabupaten Endemis dan Non Endemis Provinsi Aceh. J Biotek Medisiana Indones. 2017;6(2):159-166.

Veridiana NN, Chadijah S. Pengetahuan, Sikap Dan Perilaku Masyarakat Terhadap Filariasis Di Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat. Bul Penelit Kesehat. 2015;43(1):47-54. Filariasis di Kabupaten Bandung. J Kaji Komun. 2013;1(2):125-132.

Wahyudi BF, Pramestuti N. Kondisi Filariasis Pasca Pengobatan Massal di Kelurahan Pabean Kecamatan Pekalongan Utara Kota Pekalongan. Balaba. 2016;12(1):55-60. doi:10.22435/blb.v12i1.4635.55-60

Chesnais CB, Missamou F, Pion SD, et al. A Case Study of Risk Factors for Lymphatic Filariasis in the Republic of Congo. Parasites & Vectors Vectors. 2014;7(300):1-12. doi:10.1186/1756-3305-7-300

Riftiana NS. Hubungan Sosiodemografi dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Pekalongan. Kes Mas UAD. 2010;4(1):59- 65. doi:10.12928/kesmas.v4i1.1103

Nasrin. Faktor-faktor Lingkungan dan Perilaku yang Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Kabupaten Bangka Barat. 2008;8(12):1-107.

Anorital, Dewi RM. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Penderita Filariasis Selama Pengobatan di Kabupaten Tabalong. Media Penelit dan Pengemb Kesehat. 2004;14(4):42-50.

Erlanger TE, Keiser J, Caldas De Castro M, et al. Effect of Water Resource Development and Management on Lymphatic Filariasis, and Estimates of Populations at Risk. Am J Trop Med Hyg. 2005;73(3):523-533. doi:10.4269/ajtmh.2005.73.523

HadisiwiP,MulyaniHS.ProfilPenyandang tentang Filariasis. Bul Penelit Kesehat. 2014;17(2):167-176.

Suryaningtyas NH, Arisanti M, Satriani AV, Inzana N, Santoso S, Suhardi S. Kondisi Masyarakat pada Masa Surveilans Pasca- Transmission Assessment Survey (TAS)-2 Menuju Eliminasi Filariasis di Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung. Bul Penelit Kesehat. 2018;46(1):35-44. doi:10.22435/ bpk.v46i1.55

Kemenkes RI. Pedoman Penanggulangan Filariasis. Jakarta : Kemenkes RI; 2014.

Tadjoedin AH. Gambaran Epidemiologi Filariasis di Kota Tangerang Selatan Tahun 2008-2012. Tangerang; 2012.

Dinkes Provinsi Jawa Tengah. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah: Pencapaian Program Kesehatan Menuju Jawa Tengah Sehat. Semarang: Dinkes Provinsi Jawa Tengah ; 2004.

Uloli SSR. Analisis Faktor–Faktor Risiko Kejadian Filariasis. J Ber Kedokt Masy. 2008;24(1):44. http://www.berita- kedokteran-masyarakat.org/index.php/BKM/ article/view/132/57.

Ipa M, Astuti EP, Hakim L, Fuadzy H. Analisis Cakupan Obat Massal Pencegahan Filariasis di Kabupaten Bandung dengan Pendekatan Model Sistem Dinamik Analysis of Filariasis Mass Drug Administration Coverage Through Dynamic System Model in Bandung Regency. 2016:31-38.

Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 94 Tahun 2014 Tentang Penanggulangan Filariasis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI ; 2014.

Lusi I, Utami GT, Nauli FA. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dan Sikap Masyarakat tentang Penyakit Filariasis dengan Tindakan Masyarakat dalam Pencegahan Filariasis. J Online Mhs Riau. 2014;(Oktober 2014):1-9.

Ardias A, Setiani O, Darundiati YH. Faktor Lingkungan dan Perilaku Masyarakat yang BerhubungandenganKejadianFilariasis di Kabupaten Sambas. J Kesehat Lingkung Indones. 2013;11(2):199-207. doi:DOI: 10.14710/jkli.11.2.199 - 207

Paiting YS, Setiani O, Sulistiyani S. Faktor Risiko Lingkungan dan Kebiasaan Penduduk Berhubungan dengan Kejadian Filariasis di Distrik Windesi Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua. J Kesehat Lingkung Indones. 2012;11(1):76-81. doi:10.14710/ JKLI.11.1.76-81

Reimer LJ, Thomsen EK, Tisch DJ, et al. Insecticidal Bed Nets and Filariasis Transmission In Papua New Guinea. N Engl J Med. 2013;369(8):745-753. doi:10.1056/ NEJMoa1207594

Rebollo MP, Sambou SM, Thomas B, et al. Elimination of Lymphatic Filariasis in the Gambia. PLoS Negl Trop Dis. 2015;9(3):1- 16. doi:10.1371/journal.pntd.0003642

Published
2020-01-15
Section
Articles