Status Endemisitas Filariasis dan Faktor Perilaku Masyarakat Terkait Eliminasi Filariasis di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan

Status of Filariasis Endemicity and Community Behavior Factor Associated to Filariasis Elimination in Enrekang District, South Sulawesi Province

  • Nurul Hidayah Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Donggala, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
  • Sitti Chadijah Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Donggala, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
  • Neflita Nelfita Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Donggala, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
  • Rosmini Rosmini Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Donggala, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Keywords: filariasis, survei darah jari, POPM, Enrekang, mass blood survey, MDA

Abstract

Enrekang district is one of the regions in South Sulawesi Province that has been declared endemic for filariasis since the first case was found in the fingerblood survey (SDJ) in 2006. In Enrekang district, the Filariasis Mass Prevention Drug Administration (POPM) program has been implemented for five years continuously from 2007 to 2011, and passed the TAS-3 (Transmission Assessment Survey), also received a filariasis-free certificate from the Ministry of Health in 2016. This research aimed to determine the microfilaremia rate after passing TAS–3 and identify community behavioral factors related to filariasis elimination in filariasis endemic areas in Enrekang District, South Sulawesi Province. The research design was cross-sectional and conducted from February to December 2017. Data collections were carried out in two sentinel villages, namely Potokullin village Buntu Batu Sub District and Parombean village located in Curio Sub District, Enrekang District. Data were collected through fingerblood survey and interviews with 310 residents (minimum sample size) for each of these villages. The results of SDJ showed that there were no microfilariae in all samples examined. Enrekang District can be declared as a filariasis-free area. The behavior of community in using mosquito nets and closed clothing as an effort to avoid mosquito bites and community participation in taking filariasis mass drug greatly contributed to the succes of filariasis elimination in Enrekang District, South Sulawesi Province. 

Abstrak

Kabupaten Enrekang merupakan salah satu wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan yang dinyatakan endemis filariasis sejak ditemukan kasus pertama pada kegiatan survei darah jari (SDJ) di tahun 2006. Di Kabupaten Enrekang telah dilaksanakan program Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) filariasis selama lima tahun terus-menerus dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011, dan lulus TAS-3 (Transmission Assesment Survey), serta menerima sertifikat bebas filariasis dari Kementerian Kesehatan pada tahun 2016. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan angka mikrofilaremia paska lulus TAS – 3 dan mengidentifikasi faktor-faktor perilaku masyarakat yang berkaitan dengan eliminasi filariasis di wilayah endemis filariasis di Kabupaten Enrekang Provinsi Sulawesi Selatan. Desain penelitian adalah cross sectional. Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai dengan bulan Desember tahun 2017. Kegiatan dilaksanakan di dua desa sentinel, yaitu Desa Potokullin, Kecamatan Buntu Batu dan Desa Parombean, Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang. Pengumpulan data dilakukan dengan survei darah jari dan wawancara terhadap 310 penduduk (jumlah sampel minimum) untuk masing-masing desa tersebut. Hasil SDJ menunjukkan bahwa tidak terdapat mikrofilaria dari keseluruhan sampel yang diperiksa. Kabupaten Enrekang dapat dinyatakan sebagai daerah yang bebas filariasis. Perilaku masyarakat dalam menggunakan kelambu dan pakaian tertutup sebagai upaya untuk menghindari gigitan nyamuk serta keikutsertaan masyarakat dalam meminum obat massal filariasis sangat berperan terhadap keberhasilan eliminasi filariasis di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan.

References

Kementerian Kesehatan RI. Profil kesehatan Indonesia Tahun 2017. Sekretariat Jenderal Kemenkes RI. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2018. 496 p.

Arsin AA. Epidemiologi filariasis. Makassar: Masagena Press; 2016.

World Health Organization. Lymphatic filariasis (Elephantiasis). In: World Health Organization. 2020. p. 1–7.

Meliyanie G, Andiarsa D. Program eliminasi lymphatic filariasis di Indonesia. J Heal Epidemiol Commun Dis. 2017;3(2):63–70.

Kementerian Kesehatan RI. Profil kesehatan Indonesia 2020 [Internet]. 1st ed. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2021. 196–200 p. Available from: https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/Profil-Kesehatan-Indonesia-Tahun-2020.pdf

Prasetyowati H, Hodijah DN, Ipa M, Hendri J. Pengetahuan dan karakteristik individu : studi cakupan kepatuhan minum obat paska pemberian obat massal pencegahan filariasis di Kabupaten Tangerang. Balaba. 2019;15(2):179–90.

Oktarina R. Studi filariasis pasca-pemberian obat pencegahan massal ( POPM ) filariasis tahap III Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2016. J Vektor Penyakit. 2018;12(2):93–102.

Rahmat A, Rahmayanti D, Rachmawati K. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian filariasis di Kabupaten Barito Kuala. J Keperawatan dan Kesehat. 2020;8(1):48–58.

Infodatin Kemenkes RI. Situasi filariasis di Indonesia Tahun 2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2016.

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan. Penanggulangan filariasis di Kabupaten Enrekang. Makassar: Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan; 2017.

Balai Litbangkes Donggala. Prosedur tetap pemeriksaan filaria. Donggala: Balai Litbangkes Donggala; 2019. p. 1–2.

Kementerian Kesehatan. Permenkes RI No. 94 Tahun 2014 tentang penanggulangan filariasis. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2014. p. 38–9.

Chadijah S. Survei filariasis di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. J Vektor Penyakit. 2012;6(1):1–6.

Elytha F. Transmission assessment survey sebagai salah satu langkah penentuan eliminasi filariasis. J Kesehat Masy Andalas. 2014;8(2):84–91.

Wahyudi BF, Pramestuti N. Kondisi filariasis pasca pengobatan massal di Kelurahan Pabean Kecamatan Pekalongan Utara Kota Pekalongan. Balaba. 2016;12(1):55–60.

Cahyaningrum S, Litbangkes B, Selatan BS. Re-transmission assessment survey filariasis pasca pengobatan massal di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat Tahun 2016. Balaba. 2017;13(2):143–52.

Erlan A, Chadijah S, Udin Y. Persepsi stakeholder tentang program eliminasi filariasis di Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan : suatu tinjauan studi kasus. J Vektor Penyakit. 2019;13(2):133–40.

Hamdan YL, Hadisaputro S, Suwondo A, Sofro MA, Adi S. Faktor lingkungan dan perilaku yang berpengaruh terhadap kejadian filariasis. J Ilm Permas J Ilm STIKES Kendal. 2019;9(1):21–6.

Ramadhan N, Yulidar, Hadifah Z, Yasir, Nur A. Gambaran status endemisitas filariasis dan faktor yang terkait dengan transmisi sesaat pasca survei transmission assessment survey (TAS )-1 di Kabupaten Pidie, Aceh. Media Penelit dan Pengemb Kesehat. 2019;29(4):353–64.

Munawwaroh L, Pawenang ET. Evaluasi program eliminasi filariasis dari aspek perilaku dan perubahan lingkungan. Unnes J Public Heal [Internet]. 2016;5(3):195–204. Available from: https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph/article/view/10013.

Arisanti M, Nurmaliani R. Perilaku masyarakat Muaro Jambi dalam pencegahan filariasis limfatik. Spirakel. 2018;10(2):97–105.

Arfarisy N. Potensi penularan filariasis pada ibu hamil di Kecamatan Muara Pawan Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat. J Kesehat Lingkung [Internet]. 2017;9(2):217–22. Available from:https://pdfs.semanticscholar.org/bc3c/7edf8b790664edcc70173e9073c0fbac5327.pdf.

Published
2021-12-30
Section
Articles