Pengobatan Malaria Kombinasi Artemisinin (ACT) di Provinsi Papua Barat Tahun 2013

  • Revi Rosavika Kinansi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit, Salatiga, Jl. Hasanudin No. 123. Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia
  • Rika Mayasari Loka Litbang Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang, Baturaja
  • Diana Andriyani Pratamawati Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit Salatiga, Indonesia
Keywords: Malaria, ACT, Papua Barat, Positive of malaria, antimalaria resistence

Abstract

Malaria is still a disease with highest incidence rate in Indonesias. Based on Riskesdas 2013, the prevalence of malaria in West Papua was generally increasing. This study aimed to find the correlation of  type of malaria found in blood examination and distribution status of ACT.  Samples of data obtained by stratified random sampling from 1490 people who had suffered from malaria in West Papua. Data analysis using univariate descriptive and correlation analysis The result showed that the most common type of malaria was tertiana malaria caused by Plasmodium vivax (51%). Early detection performed within the first 24 hours when the patient is suffering from fever can be used as the basis for a policy that early detection can reduce malaria morbidity. It can be concluded ACT suitable for any type of malaria. The concistency of provision of ACT can be implemented by increasing public awareness of taking prophylactic. In addition the ideal combination antimalarial drugs be  able to heal in a short time and if the patients performs the compliance of taking the drug, it will not be antimalarial resistance.

References

1. Kemenkes Kesehatan Republik Indonesia. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2012. Jakarta: Direktorat Jendral Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. http://www.tbindonesia.or.id/pdf/profilpppl2012130917032535phpapp02.pdf. Diakses pada tanggal 1 September 2014, pukul 18.37 WIB

2. Soejoedi, H,. Pengendalian Rodent, Suatu Tindakan Karantina. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol. 2, No.54 1, Juli 2005 : 53 – 66. 2005

3. Banilo, Margaretha, Balbina. Survei Entomologi Kepadatan Pinjal pada Tikus di Daerah Buffer Wilayah Kerja KKP Kelas IV Yogyakarta. Skripsi: UNRIYO, Yogyakarta. 2014.
4. Notoatmodjo, S,. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar, Jakarta: Rineka Cipta. 2003

5. Harian Jogja. Internet. Cangkringan waspada serangan pes. http://jogja.solopos.com/baca/2011/02/23/cangkringan-waspada-serangan-pes-145092. Diakses pada 2 Februari 2015. 2011

6. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2011. https://app.box.com/s/sijeep fahmiumglzh7nn Jakarta: Direktorat Jendral Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Diakses pada tanggal 6 Desember 2014.

7. Pramestuti N, dkk. Populasi Tikus Dan Pengetahuan Masyarakat Tentang Tikus Dan Penyakit Yang Ditularkan Di Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, Artikel Balai Litbang P2B2 Banjarnegara, Vol. 8, No. 01, Jun 2012 : 11-16. 2012

8. Rahmawati, E., Partisipasi Ibu dalam pemasangan live trap terhadap jumlah tikus dan pinjal di sukabumi kecamatan cepogo Kabupaten Boyolali, Unnes Journal of Public Health, Vol2 No.3, 2013.

9. Maulana, Yusup, dkk, identifikasi ektoparasit pada tikus dan cecurut di daerah focus pes desa suroteleng kecamatan selo kabupaten Boyolali, Jurnal Penelitian : Balaba, Vol 8, N0.2, Desember 2012: 33-36

10. Bashofi, AS, dkk “Infestasi Pinjal dan Infeksi Dipylidium Canium (Linnaeus) pada kucing liar di lingkungan kampus Institut Pertanian Bogor, Kecamatan Dramaga” Jurnal Entomologi Indonesia, Vol 12, No.2 Juli 2015:108-114. 2015

11. Supriyati, Dina, Ustiawan, Adil., Spesies Tikus, cecurut dan pinjal yang ditemukan di Pasar Kota Banjarnegara. Jurnal penelitian: Balaba Vol. 9, No.2, Desember 2013: 58-62

12. Mubarak Wahid, I dan Nurul Chayatin. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Teori Dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika. 2009

13. Auliya, R.“Hubungan Antara Strata PHBS Tatanan Rumah Tangga Dan Sanitasi Rumah Dengan Kejadian Leptospirosis (Studi Kasus Di Kecamatan Candisari Kota Semarang Tahun 2012)”. Skripsi. Universitas Respati Yogyakarta. 2012

14. Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman. Profil Kesehatan Sleman Tahun 2012. http://dinkes.slemankab.go.id/wp-content/uploads/2014/01/PROFIL-2013.pdf. Diakses pada tanggal 7 November 2014

15. Raharjo, Jarohman dan Rahmadhani, Tri. Studi Kepadatan Tikus dan Ektoparasit (Fleas) pada Daerah Fokus dan Bekas Pes. Predisposing Seminar nasional kesehatan: Jurusan Kesehatan masyarakat FKIK UNSOED. 2012. http://kesmas.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileunggah/Jarohman-15.pdf. Diakses pada tanggal 19 November 2014.

16. Rusmini, Bahaya Leptospirosis (Penyakit Kencing Tikus) & Cara Pencegahannya, Yogyakarta: Gosyen Publishing. 2011

17. Ernawati, Dwi dan Priyanto, Dwi., Pola Sebaran Spesies Tikus Habitat Pasar berdasarkan jenis komoditas di pasar Kota Banjarnegara, Jurnal Penelitian: Balaba, Vol.9, No.2, Desember 2013: 58-62.

18. Chin, J.. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Edisi 17 Cetakan IV Editor penterjemah : I Nyoman Kandun. Jakarta : CV. Infomedika. 2012

19. Setiabudi Johan, dkk,. “Analisis prioritas kebijakan pemanfaatan burung hantu (Tyto alba) sebagai pengendalian hama tikus sawah yang ramah lingkungan di kabupaten Semarang”, Indonesian Journal of Conservation, Vol 04, No.1, 2015: 67-73. 2015
Published
2018-08-21
How to Cite
1.
Kinansi R, Mayasari R, Pratamawati D. Pengobatan Malaria Kombinasi Artemisinin (ACT) di Provinsi Papua Barat Tahun 2013. blb [Internet]. 21Aug.2018 [cited 28Apr.2024];13(1):43-4. Available from: http://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/blb/article/view/255
Section
Articles